Mimpi

Pagi ini aku terbangun dengan penuh kegelisahan. Mimpi semalam masih membayangiku. Bahkan setelah aku membasuh muka dengan air yang dinginnya sangat menusuk.

***

Aku tinggal di sebuah kota yang besar di negeri ini. Disana aku sedang mencoba untuk menuntut ilmu yang sangat amat aku dambakan sejak dulu. Perjuanganku untuk mencapai kota ini tidaklah mudah. Bukan hanya ujian yang layaknya dihadapi oleh anak SMA yang ingin duduk di bangku kuliah, tetapi ada banyak kendala yang justru lebih berat menghalang.

Aku punya tempat kesukaan di kota ini. Tempatnya tidak jauh dari kampusku. Sekedar berjalan kaki atau bersepeda pun tidak masalah bagiku. Ya, benar sekali, semenjak tinggal disini, aku sangat suka bersepeda, mungkin karena angin lembut dan udara sejuk yang selalu menyapa setiap saat. Mungkin, kalau kalian datang ke tempat kesukaanku ini, kalian akan menganggapnya biasa saja. Tidak ada yang spesial dari tempat ini. Hanya tanah lapang yang dikelilingi oleh pepohonan dan beberapa warung kopi berdiri menanti pengunjung menghampirinya. Seperti yang kukatakan tadi, aku sangat suka menikmati angin dan udara di kota ini dan menurutku, tempat ini lah yang paling pas untuk sekedar memulai, berbagi hingga habis mengenang.

***

Sore ini, aku berfikir akan menjadi sore yang seperti biasa. Namun, kejadian di pukul dua lebih limabelas menit tadi mengubah segalanya. Mengubah semua hal yang telah aku rencanakan. Ketika aku membereskan kamar, aku menemukan beberapa catatan yang terlihat usang dan berdebu. Aku kembali membuka, membolak-baliknya sambil mengibaskan supaya debunya hilang sedikit demi sedikit. Kubaca perlahan catatan tersebut dan secara tiba-tiba juga aku terkejut sekaligus teringat suatu hal. Aku mulai panik, aku mulai gelisah dan aku tak tahu lagi harus memulai dari mana.

Catatan tersebut mungkin tidak menjadi sesuatu yang penting buat orang lain, tapi tidak bagiku. Catatan itu berisikan beberapa janji-janjiku bersama yang terkasih. Sebuah janji yang harus aku tepati ketika aku bisa menginjakkan kaki di kota ini. Bodoh sekali diriku ini yang sudah hampir tiga tahun berada di kota ini tapi tidak ingat sama sekali tentang janji itu. Bodoh sekali diri ini ketika aku hanya mementingkan diri sendiri dan lupa dengan yang membawamu hingga sampai melayang seperti saat ini. Yah, memang bodoh, tetapi aku tidak ingin melakukan kebodohan yang kedua kalinya.

Aku langsung berjalan menuju tempat yang seharusnya sudah dari tiga tahun yang lalu aku singgahi. Sepanjang jalan hanya ada rasa penyesalan karena baru saat ini aku melakukannya. Tapi, aku yang lain mengucap bahwa kenapa harus terus menerus menyesali kalau saat ini yang dibutuhkan adalah bertindak. Bertindak tanpa perlu banyak berucap tentang keluh yang kenyataannya terus menerus mengaduh selama hampir tiga jam empatpuluhlima menit. Oke, fokus!

***

Aku telah sampai di tempat dimana aku bersama sang terkasih menulis catatan itu. Aku menjadi linglung dan bingung tentang apa yang telah aku tuliskan tiga tahun yang lalu. Sangat tak terbayang kalau hari ini merupakan hari yang sangat amat terlambat. Bukan terlambat sepersekian detik, menit, atau jam, tetapi terlambat sepersekian tahun.

Aku hanya bisa bersandar pada akar pohon besar yang tiga tahun lalu aku buat untuk bersandar dengannya. Bayangan hari itu muncul kembali dalam anganku dan memang tidak bisa terhapus secara penuh. Aku tak ingin kimput hanya karena bayangan yang berkali-kali muncul. Aku sadar jika selamanya aku tak bisa seperti ini. aku mencoba menenangkan diri dengan menghirup dan menikmati kopi yang telah ku pesan beberapa menit yang lalu. Biarkan kafein membongkar imajiku yang liar dan tidak bisa dikendalikan itu.

Di sudut lain aku melihat seseorang bersama terkasihnya melakukan hal yang sama dengan apa yang hampir tiga tahun lalu terjadi disini. Aku melihatnya dan mulai berbisik pelan.

“Semoga kalian lebih beruntung.” ucapku lirih.

Setelah itu, lamunanku berlanjut ditemani dengan segelas kopi yang tak kunjung surut. Dan, mulai saat itu, tempat ini menjadi tempat kesukaanku.

***

Aku bangkit dari mimpiku dan aku sadari bahwa saat ini aku berada di kota yang terik, panas, dan berdebu. Sudah tak ada lagi sepeda yang disapu dengan angin yang semilir. Tak ada lagi pohon dengan akar besar yang bisa dijadikan tempat bersandar. Dan aku teringat kembali bahwa yang terkasih telah lama pergi. Dan semua itu hanyalah mimpi.

Memang, terkadang hal yang kita inginkan bukan suatu hal yang kita butuhkan. Dan yang paling kita butuhkan saat ini adalah merelakan.

2 thoughts on “Mimpi

Leave a reply to manshurzikri Cancel reply